Alkisah manusia
bumi menemukan penemuan yang tanpa disangka telah mengubah pola hidup mereka
sendiri. Bermula dari kebutuhan komunikasi jarak jauh untuk keperluan militer, ARPA
menemukan ARPANet. Militer Amerika hari itu, dengan cakupan operasi yang luas
memang menjadikan ARPANet sebagai alat bantu militer yang sangat efektif.
Singkat cerita, 10 tahun kemudian ARPANet – yang kita kenal hari ini dengan
internet – secara luas digunakan. Bukan lagi terbatas pada urusan militer,
mulai saat itu internet digunakan oleh manusia untuk sarana komukasi jarak
jauh.
Cerita ini pun
berlanjut, di belahan bumi lainnya. Indonesia di bawah kepemimpinan ‘tangan
besi’ Orde Baru, mulai geram dengan pemberitaan-pemberitaan media yang perlahan
mengusik kursi kepemimpinannya. Demi ‘stabilitas negara’, akhirnya banyak
media-media ditutup. Atas alasan yang sama pun orang-orang yang dicurigai
mengganggu ‘stabilitas negara’ diculik dan hilang tanpa jejak. Itu adalah hari
dimana kebebasan telah mati...
Tahun
berganti, kebebasan yang ditekan bak mesin press dibuka pintunya
selebar-lebarnya. Media pun mengganas, layaknya seekor macan keluar dari
kandang. Mereka yang tidak bertanggung jawab mulai menyebarkan berita ‘pesanan’
yang sengaja menyesatkan publik. Banyak alasannya, paling dominan karena urusan
politik. ‘Stabilitas negara’ era orde baru telah runtuh, berganti dengan
Kebebasan yang kebablasan. Untuk mencegahnya dibuatlah Dewan Pers, sebuah
organisasi profesi pers yang memastikan setiap insan pers menjaga etikanya
dalam bermedia. Agar hilang dari negeri ini informasi sesat yang membutakan
mata publik. Meski orang bilang masih belum efisien, setidaknya media-media ‘nakal’
bisa dikekang dan bahkan dibubarkan.
Tahun 2017. Kepemimpinan
berganti, Indonesia yang mulai mengenal teknologi komunikasi perlahan mengubah
pola interaksi antar manusianya. Rakyat hari ini tidak lagi suka memesan koran.
Omset penjualan surat kabar mulai menurun secara peralahan. Mereka mulai
beralih pada media elektronik yang lebih cepat dan gratis. Masalah baru
akhirnya muncul. Kebebasan tidak lagi dapat dibendung. Di dunia maya, hukum
dunia nyata tidak berlaku. Situs-situs bermuatan negatif susah dikendalikan
terlebih jika disandingkan dengan jimat ‘Hak Asasi Manusia’. Berita-berita
palsu –HOAX – beredar seperti semak belukar di pinggir lapangan. Pemerintah kebingungan...
“Pak kalau ada
media online atau akun media sosial yang menyebarkan berita bohong gimana pak? Apakah
tidak ada hukuman yang diterima si pelaku?” tanya seorang mahasiswa pada
Budiono –Direktur Majalah GATRA. “Ya... itulah masalah yang kini di hadapi
Amerika. Kalau berita itu disebarkan lewat koran atau majalah, gampang. Tutup saja lokasi penerbitnya.
Tapi kalau web, satu diblokir muncul seribu lainnya. Apalagi medsos, atas dasar
Hak Asasi Manusia semua orang menjadi kebal dipersalahkan. Belum lagi Amerika
sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM, jelas tidak berkutik ketika HAM
dijadikan benteng pelindung akun mereka. Mereka hari ini bingung, apa yang
harus ia lakukan...”jawabnya. “Pada akhirnya yang menjadi filter bagi media
online adalah etika dalam dirinya. Jika
ia tidak memiliki etika maka selesai sudah. “ Lalu kelas berakhir...
Ngomongin apa sih...,,, intinya
mah.
“Internet itu ujian kemerdekaan. Semua
orang bebas meliat dan mengirim apapun. Semuanya hanya bertanggung jawab atas diri
dan Tuhannya atas apa yang terlihat dan terucap di dunia maya. Ati-ati aja....”